Showing posts with label Matematika SMA. Show all posts
Showing posts with label Matematika SMA. Show all posts
Cara Menuntaskan Persamaan Linear  Tiga Variabel

Cara Menuntaskan Persamaan Linear Tiga Variabel

Kembali lagi bersama aku di blog tetamatika, tetamatika menawarkan aneka macam manajemen guru, bahan ajar, media pembelajaran yang berkaitan dengan pelajaran matematika. Kali ini aku akan membahas ihwal bahan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel dan Tiga Variabel Kelas X Semester 1Sistem persamaan linear 3 variabel, merupakan himpunan 3 buah persamaan dengan variabel sebanyak 3. Bentuk ini satu tingkat lebih rumit dibandingkan sistem persamaan linear 2 variabel
Metoda meyelesaikan persamaan

1. Metoda Eliminasi

2. Metoda subtitusi

Metoda Eliminasi

Supaya lebih gampang eksklusif saja kita masuk ke contoh-contoh

Contoh soal 1 :

2x + 3y – z = 20
3x + 2y + z = 20
x + 4y + 2z = 15
Jawab :
Ketiga persamaan dapat kita beri nama persamaan (1), (2), dan (3)
2x + 3y – z = 20 ………………………..(1)
3x + 2y + z = 20 ………………………..(2)
x + 4y + 2z = 15 ………………………..(3)
Sistem persamaan ini harus kita sederhanakan menjadi sistem persamaan linear 2 variabel. Untuk itu kita eliminasi variabel z
Sekarang persamaan (1) dan (2) kita jumlahkan
2x + 3y – z = 20
3x + 2y + z = 20_____   +
5x + 5y = 40
x + y = 8 ………………….(4)
Selanjutnya persamaan (2) dikali (2) dan persamaan (3) dikali (1) sehingga diperoleh
6x + 4y + 2z = 40
x + 4y + 2z = 15____  _
5x = 25
x = 5
Nilai x ini kita subtitusi ke persamaan (4) sehingga
x + y = 8
(5) + y = 8
y = 3
selanjutnya nilai x dan y yang ada kita subtitusikan ke persamaan (2)
3x + 2y + z = 20
3.(5) + 2.(3) + z = 20
15 + 6 + z = 20
z = -1
Jadi, himpunan penyelesaiannya yakni {(5, 3, -1)}


Contoh soal 2 :
Tentukan himpunan penyelesaian dari
3x + 4y – 3z = 3
2x – y + 4z = 21
5x + 2y + 6z = 46
Jawab :
Agar lebih mudah, ketiga persamaan kita beri nama (1), (2), dan (3)
3x + 4y – 3z = 3  …………………………….(1)
2x – y + 4z = 21  …………………………….(2)
5x + 2y + 6z = 46 …………………………….(3)
Selanjutnya persamaan (1) dikali 1 dan persamaan (2) dikali 4, sehingga diperoleh
3x + 4y – 3z = 3    |1| → 3x + 4y – 3z = 3
2x – y + 4z = 21    |4| → 8x – 4y+16z = 84    +
.                                  11x + 13z = 87 ……………..(4)
Berikutnya persamaan (3) dikali 1 dan persamaan (2) dikali 2, sehingga diperoleh
5x + 2y + 6z = 46    |1| → 5x + 2y + 6z = 46
2x – y + 4z = 21      |2| → 4x – 2y + 8z = 42     +
.                                    9x + 14z = 88 …………..(5)
Sekarang persamaan (5) dikali 11 dan persamaan (4) dikali 9 sehingga diperoleh
9x + 14z = 88   |11|   99x +154z = 968
11x + 13z = 87  |9|    99x + 117z=783       _
.                                      37z = 185
.                                          z = 5
Nilai z=5 kita subtitusi ke persamaan (4)
11x + 13z = 87
11x + 13.(5) = 87
11x + 65 = 87
11x = 22
x = 2
Nilai x=2 dan z=5 kita subtitusikan ke persamaan (3) sehingga
5x +2y +6z = 46
5.(2) +2y +6.(5) = 46
10 + 2y + 30 = 46
2y = 6
y = 3
Jadi, himpunan penyelesaiannya yakni {(2, 3, 5)}


Metoda subtitusi

Contoh soal 3

Himpunnan penyelesaian sistem persamaan
2x + 5y + 4z = 28
3x – 2y + 5z = 19
6x + 3y – 2z = 4
adalah …
Jawab :
Sekarang setiap persamaan kita beri nama (1), (2), dan (3)
2x + 5y + 4z = 28 ……………………………………..(1)
3x – 2y + 5z = 19……………………………………….(2)
6x + 3y – 2z = 4…………………………………………(3)
Persamaan (1) dapat kita ubah sebagai berikut
2x + 5y + 4z = 28
4z = 28 – 2x – 5y
Kembali lagi bersama aku di blog tetamatika Cara Menyelesaikan Persamaan Linear  Tiga Variabel ………………………………………..(4)
Selanjutnya persamaan (4) kita subtitusikan ke persamaan (2) sehingga
3x – 2y + 5z = 19
Kembali lagi bersama aku di blog tetamatika Cara Menyelesaikan Persamaan Linear  Tiga Variabel
Jika kedua ruas dikali dengan 4 maka diperoleh
12x – 8y + 140 – 10x – 25y = 76
2x -33y = -64 ……………………………………….(5)
Sekarang persamaan (4) kita subtitusikan ke persamaan (3) sehingga
6x + 3y – 2z = 4
Kembali lagi bersama aku di blog tetamatika Cara Menyelesaikan Persamaan Linear  Tiga Variabel
Jika kedua ruas dikali 4 maka
24x + 12y – 56 + 4x + 10y = 16
28x + 22y = 72
14x + 11y = 36
11y = 36 – 14x
Kembali lagi bersama aku di blog tetamatika Cara Menyelesaikan Persamaan Linear  Tiga Variabel…………………………………………(6)
Sekarang persamaan (6) kita subtitusikan ke persamaan (5) sehingga
2x -33y = -64
Kembali lagi bersama aku di blog tetamatika Cara Menyelesaikan Persamaan Linear  Tiga Variabel
2x – 108 + 42x = -64
44x = 44
x=1
Kembali lagi bersama aku di blog tetamatika Cara Menyelesaikan Persamaan Linear  Tiga Variabel
Kembali lagi bersama aku di blog tetamatika Cara Menyelesaikan Persamaan Linear  Tiga Variabel
Kembali lagi bersama aku di blog tetamatika Cara Menyelesaikan Persamaan Linear  Tiga Variabel
Kembali lagi bersama aku di blog tetamatika Cara Menyelesaikan Persamaan Linear  Tiga Variabel
Jadi, himpunan penyelesaiaannya yakni {(1, 2, 4)}
Rumus Matematika Untuk Menghitung Kecepatan

Rumus Matematika Untuk Menghitung Kecepatan


Cara menghitung kecepatan – Kecepatan yaitu hal selalu kita lakukan dalam kehidupan dan acara setiap hari. Seperti berpergian, kerja, bermain. Tanpa kita sadari kita melaksanakan yang disebut kecepatan. Kali ini kita akan mempelajari Cara menghitung kecepatan. Berikut proses langkah-langkah Cara menghitung kecepatan.
 Kecepatan yaitu hal selalu kita lakukan dalam kehidupan dan acara setiap hari Rumus Matematika Untuk Menghitung Kecepatan
Kriteria :
  • Menghitung waktu tempuh
  • Menghitung jarak tempuh
  • Menghitung kecepatan rata-rata
Rumus Cara menghitung kecepatan:
Cara Menghitung Waktu yang ditempuh
  • Jarak : Kecepatan rata-rata
Cara Menghitung Kecepatan rata-rata
  • Jarak : Waktu yang ditempuh
Cara Menghitung Jarak yang ditempuh
  • Kecepatan rata-rata X Waktu yang ditempuh
V = S/t
V = Kecepatan rata-rata
S = Jarak tempuh
t = waktu
1. Jarak dari kota A ke kota B 100 Km. Sebuah kendaraan melaju dengan kecapatan rata-rata
50 Km/jam. Jika kendaraan tersebut berangkat Pukul. 05.00. hitunglah :
a. Berapa usang waktu yang ditempuh ?
b. Pukul Berapakah Kendaraan tersebut datang di kota B ?
Jawaban menghitung kecepatan :
a. Waktu yang ditempuh = 100 Km : 50 Km/jam = 2 jam
b. Tiba di kota B = Pukul 05.00 + 2 jam = Pukul 07.00
Demikian Cara menghitung kecepatan biar bermanfaat bagi Anda.
Artikel yang terkait dengan Cara menghitung kecepatan, rumus kecepatan dan jarak, rumus percepatan, rumus percepatan dan kecepatan, rumus kecepatan, rumus kecepatan rata-rata, kecepatan
Rumus Cepat Dalam Menghitung Matematika Aljabar

Rumus Cepat Dalam Menghitung Matematika Aljabar

Apa sih Aljabar Itu?
Anggapan bahwa aljabar matematika yakni sesuatu yang seram tidak niscaya benar. Sobat mungkin hanya salah persepsi atau terpengaruh anggapan banyak orang. Selain itu mungkin hanya alasannya teman saking takutnya, lalu berimbas pada ulangan matematika yang buruk dan aljabar dijadikan kambing hitam. Kita semena-mena menyebutnya susah dan mengerikan.
Aljabar secara sederhana dapat disebut operasi matematika (penjumlahan, pengurang, dan temen-temennya) yang melibatkan variabel yang nampak berupa symbol-symbol dan angka. Adakah teman hitung yang tahu dari mana asal kata aljabar? Aljabar berasal dari kata Al-Jebr atau oleh bangsa eropa sering ditulis algebra. Al-jebr yakni sebuah buku yang ditulis oleh seorang muslim berjulukan Al-Khawarizmi, mahir matematika asal pesia yang karyanya telah dijadikan dasar matematika modern.

Rumus Cepat Aljabar, perlukah?

Sebenarnya biar cepat mengerjakan soal aljabar tidak harus dengan rumus cepat aljabar. Jika kita berguru hanya dengan menghafal banyak sekali rumus tapi tidak paham makna dan mengerti maksudnya niscaya akan cepat lupa. Cobalah memahami dasarnya dan berpikir secara logis dan tentunya ditambah banyak latihan. Aljabar yakni dasar dan ia bakal digunakan dalam banyak perhitungan matematika. Contoh sederhananya
Ketika ada persamaan Linear Satu Variabel berarti persamaan pangkat satu. Prinsipnya berpikirlah sederhana dan logis.
Contoh:
X + 7 = 10, berapa nilai x
X + 7 -7 = 10 – 7 (masing-masing ruas kurangi dengan 7)
X = 3
Jika ada soal 1252 -1242 = …
Akan sangat usang kalau harus mennghitung kuadrat dari 125 dan kuadrat 124 kemudia gres kita kurangkan. Kadang teman harus berpikir simple bahwa kita tahu a2 -b2 = (a+b) (a-b) = (125+124) (125-124) = 249 x 1 = 249 kalau tidak percaya silahkan teman hitung pakai kalkulator. Contoh lain
99^2 – 98^2 = ???
= …. = 197 (Selesai.)
Caranya:
99^2 – 98^2 = (99+98).(99-98) = 197
Rumus cepat aljabar di atas juga dapat digunakan untuk case yang berbeda menyerupai tampak di bawahh ini
berapa hasil 102 x 98 = ???= (100 + 2)(100 – 2)
= 100^2 – 2^2
= 10.000 – 4 = 9.996 (tidak susah kan sobat).
Pembahasan Lengkap Beserta Pola Soal Turunan Implisit

Pembahasan Lengkap Beserta Pola Soal Turunan Implisit

Persamaan yang sanggup dituliskan dalam bentuk y = f(x) disebut persamaan fungsi eksplisit.
Sebagai misalnya yaitu
 Persamaan yang sanggup dituliskan dalam bentuk  Pembahasan Lengkap Beserta Contoh Soal Turunan Implisit


Tidak semua fungsi sanggup dituliskan dalam bentuk eksplisit. Contohnya menyerupai berikut ini:
Secara umum, fungsi f(x,y) = c, dengan c anggota dari bilangan real disebut persamaan fungsi implisit. Turunan fungsi implisit dilakukan pada fungsi-fungsi implisit tanpa mengubah bentuk fungsi implisit menjadi fungsi eksplisit. Menurunkan fungsi implisit terhadap x sanggup dilakukan dengan cara menyerupai berikut ini:
1. Turunkan kedua ruas (ruas kanan dan ruas kiri) terhadap x.
2. Gunakan hukum rantai
3. Tentukan dy/dx

Aturan rantai ialah sebagai berikut:

Perhatikan teladan soal berikut ini:

Contoh Soal 1:
Tentukan dy/dx jika:
1.    dan 
2.   dan u merupakan fungsi dari x secara implisit.

Pembahasan:
1. Dari hukum rantai diperoleh bahwa:
           
                  

2. Dari hukum rantai diperoleh sebagai berikut ini:
           
                  
   Jadi, dengan u fungsi dari x secara implisit ialah .

Contoh Soal 2:
Tentukan dy/dx dari persamaan implisit berikut ini:

Pembahasan:
Langkah awal yang perlu dilakukan ialah ruas kanan dan ruas kiri kita turunkan terhadap x menyerupai berikut ini:
                                    
                           
                  
Setelah diturunkan terhadap x, maka selanjutnya yaitu buat dalam bentuk dy/dx menyerupai berikut:
                              
                                                   

Contoh Soal 3:
Tentukan dy/dx dari persamaan implisit berikut ini:
sin (x - y) = cos y

Pembahasan:
Cara pengerjaannya serupa dengan teladan soal 2. Dengan menurunkan kedua ruas (ruas kanan dan ruas kiri) terhadap x diperoleh sebagai berikut:
                                    sin (x - y)  =   cos y
           
    
                                             
                                                   
Contoh Soal 4:
Tentukan persamaan garis singgung kurva    di titik (2 , 1).

Pembahasan:
Cara pengerjaannya pun masih sama menyerupai contoh-contoh sebelumnya yaitu dengan menurunkan kedua ruas terhadap x dan tentukan dalam bentuk dy/dx. Karena di soal diperintahkan bahwa tentukan persamaan garis singgung maka sehabis menurunkan kedua ruasentukan dalam bentuk dy/dx maka selanjutnya  yaitu memilih kemiringan garis singgung pada titik yang telah di berikan pada soal.

Dengan menurunkan kedua ruas terhadap x dan dalam bentuk dy/dx, maka diperoleh sebagai berikut:
                                       
                               
                        
                                                         

Kemiringan garis singgung kurva di titik (2 , 1) diperoleh dengan memasukkan nilai x = 2 dan y = 1 pada persamaan dy/dx. Sehingga diperoleh sebagai berikut:

Kaprikornus persamaan garis singgungnya ialah sebagai berikut:
y - 1 = -2 (x - 2)
     y = -2 (x - 2) + 1
     y = -2x - 4 + 1
     y = -2x - 3
Operasi Penjumlahan Dan Perkalian Pada Himpunan

Operasi Penjumlahan Dan Perkalian Pada Himpunan

Dalam aljabar tidak hanya dibahas perihal himpunan tetapi juga himpunan bersama dengan operasi penjumlahan dan pergandaan yang didefinisikan pada himpunan.
Definisi I.1
Misalkan A himpunan tidak kosong. Operasi biner * pada A yakni pemetaan dari setiap pasangan berurutan x, y dalam A dengan sempurna satu anggota x * y dalam A.

Himpunan bilangan bulat Z memiliki dua operasi biner yang dikenakan padanya yaitu penjumlahan (+) dan pergandaan (.). Dalam hal ini untuk setiap pasangan x dan y dalam Z, x+y dan x.y dikawankan secara tunggal dengan suatu anggota dalam Z.

Operasi biner memiliki dua bab dari definisi yaitu:
1. terdefinisikan dengan baik (well-defined) yaitu untuk setiap pasangan berurutan x, y dalam A dikawankan dengan sempurna satu nilai x*y.
2. A tertutup di bawah operasi * yaitu untuk setiap x, y dalam A maka x*y masih dalam A.

Contoh :
Diketahui N himpunan semua bilangan bundar positif. Didefinisikan * dengan aturan x*y = x-y.
Karena 3, 5 dalam N dan 3*5 = 3-5 = -2 tidak berada dalam N maka N tidak tertutup di bawah operasi * sehingga * bukan operasi biner pada N.

Contoh :
Didefinisikan operasi # dengan aturan x # y = x +2y dengan x, y dalam N = {1, 2, 3, … }. Akan ditunjukkan bahwa # merupakan operasi biner.
Jelas bahwa # terdefinisikan dengan baik alasannya yakni rumus x+2y menunjukkan hasil tunggal untuk setiap x, y dalam N.

Untuk sebarang x, y dalam N maka terperinci bahwa x+2y masih merupakan bilangan bundar positif. Lebih jauh 2y + x > 0 bila x > 0 dan y > 0. Berarti hasil dari x+2y masih merupakan bilangan positif dan karenanya N tertutup di bawah operasi #.

Hukum-hukum Aljabar
Suatu sistim aljabar terdiri dari himpunan obyek dengan satu atau lebih operasi yang didefinisikan padanya. Bersama dengan hukum-hukum yang diharapkan dalam operasi.

Definisi I.2
Misalkan * operasi biner pada himpunan A.
(1) operasi * assosiatif bila (a*b)*c = a*(b*c) untuk semua a, b, c dalam A.
(2) operasi * komutatif bila a*b = b*a untuk semua a, b dalam A.

Dalam pembahasan selanjutnya hukum-hukum dasar aljabar untuk penjumlahan dan pergandaan yang didefinisikan pada bilangan bundar Z dan bilangan real R sebagai aksioma (axioms) yaitu diterima tanpa bukti.
Contoh :
Operasi * didefinisikan pada himpunan bilangan real R dengan a*b = (1/2)ab.
Akan ditunjukkan bahwa * assosiatif dan komutatif.
Karena (a*b)*c = (1/2 ab)*c
= (1/2)((1/2 ab)c)
= (1/4) (ab)c
dan pada sisi lain
a*(b*c) = a*((1/2) bc)
= (1/2) a((1/2) bc)
= (1/4)(ab)c
untuk semua a, b dan c dalam R maka * assosiatif. Karena a*b = (1/2)ab
= (1/2)ba = b*a untuk semua a, b dalam R maka * komutatif.

Contoh :
Operasi ⊕ didefinisikan pada bilangan bundar Z dengan aturan a ⊕ b = a + 2b.
Akan ditunjukkan bahwa ⊕ tidak komutatif dan tidak assosiatif.
Karena pada satu sisi
(a ⊕ b) ⊕ c = (a+2b) ⊕ c = (a+2b)+2c
dan pada sisi lain
a ⊕ (b ⊕ c) = a ⊕ (b+2c)
= a+2(b+2c)
= a+(2b+4c)
= (a+2b)+4c
dari kedua hasil tersebut tidak sama untuk c ≠ 0 maka ⊕ tidak assosiatif.
Karena a ⊕ b = a+2b dan b ⊕ a = b+2a dan kedua hasil ini tidak sama untuk a ≠ b maka ⊕ tidak
komutatif.

Terlihat bahwa aturan untuk * tidak menjamin bahwa himpunan X tertutup di bawah operasi *. Berikut ini diberikan suatu cara untuk menunjukan bahwa suatu himpunan tertutup terhadap suatu operasi.
Untuk menunjukan sifat tertutup dari suatu system X dimulai dengan dua sebarang anggota yang dioperasikan dengan operasi * dan lalu ditunjukkan bahwa hasilnya masih memenuhi syarat keanggotaan dalam X.
Untuk selanjutnya dalam goresan pena ini R2 dimaksudkan himpunan semua pasangan berurutan dari bilangan real R2 = { (a,b) | a, b dalam R }.

Contoh :
Misalkan ⊕ memiliki aturan (a,b) ⊕ (c,d) = (a+c, b+d).
Akan ditunjukkan bahwa R2 tertutup di bawah operasi ⊕ .
Untuk sebarang (a,b) dan (c,d) dalam R2 berlaku (a,b) ⊕ (c,d) = (a+c,b+d)
dengan a+c dan b+d dalam R sehingga (a+c,b+d) dalam R2.

Oleh alasannya yakni itu hasilnya merupakan pasangan berurutan dan tertutup di bawah operasi ⊕. Selanjutnya operasi < A, *> menyatakan himpunan A dan * merupakan operasi yang didefinisikan pada A.

Definisi I.3:
(1) < A,* > memenuhi aturan identitas asalkan A mengandung suatu anggota e sehingga e*a = a*e = a untuk semua a dalam A. Anggota A yang memiliki sifat demikian dinamakan identitas untuk < A,* >.
(2) < A, * > memenuhi aturan invers asalkan A mengandung suatu identitas e untuk operasi * dan untuk sebarang a dalam A terdapat suatu anggota a′ dalam A yang memenuhi a*a′ = a′*a = e. Elemen a′ yang memenuhi sifat di atas dinamakan invers dari a.

Sebagai contoh, Z mengandung identitas 0 untuk operasi penjumlahan dan untuk setiap a dalam Z, anggota –a memenuhi a+(-a) = (-a)+a = 0 sehingga a memiliki invers terhadap operasi penjumlahan dan < Z, + > memenuhi aturan invers. Di samping itu Z mengandung identitas 1 terhadap operasi pergandaan tetapi Z tidak mengandung invers terhadap pergandaan kecuali 1 dan -1.

Untuk menunjukan aturan identitas dilakukan dengan menduga anggota tertentu e dalam himpunan yang berlaku sebagai identitas dan lalu menguji apakah e*a = a dan a*e = a untuk sebarang a dalam himpunan.
Untuk menunjukan aturan invers dilakukan dengan sebarang anggota x dalam himpunan yang memiliki identitas e dan menduga invers dari x yaitu x′ dalam himpunan dan lalu menguji apakah x*x′ = e dan x′*x = e.

Contoh :
Bila operasi didefinisikan menyerupai pada Contoh I.6 maka akan dibuktikan bahwa aturan invers dan aturan identitas berlaku.
Diduga bahwa (0,0) merupakan anggota identitas. Karena untuk sebarang (a,b) dalam R2 berlaku
(0,0)+(a,b) = (0+a, 0+b) = (a,b) dan (a,b) + (0,0) = (a+0, b+0) = (a,b) maka (0,0) identitas dalam R2.
Bila diberikan sebarang (a,b) dalam R2 maka akan ditunjukkan (-a,-b) dalam R2 merupakan inversnya. Karena –a dan –b dalam R maka (-a,-b) dalam R2. Lebih jauh lagi, (a,b) ⊕ (-a,-b) = (a-a,b-b) = (0,0) dan (-a,-b) ⊕ (a,b) = (-a+a,-b+b) = (0,0) sehingga (-a,-b) merupakan invers dari (a,b) dalam R2 .

Contoh  :
Bila * didefinisikan pada R dengan aturan a*b = ab + a maka akan ditunjukkan bahwa < R, *> tidak memenuhi aturan identitas. Karena semoga a*e sama dengan a untuk semua a haruslah dimiliki ae + a = a sehingga e perlulah sama dengan 0.

Tetapi meskipun a*0 = a maka 0*a = 0*(a+0) = 0 yang secara umum tidak sama dengan a. Oleh alasannya yakni itu tidak ada e dalam R yang memenuhi a*e = a dan e*a = a. Terbukti bahwa tidak ada identitas dalam R terhadap *.
Hukum Aturan Pada Teori Himpunan

Hukum Aturan Pada Teori Himpunan

Pada kesempatan kali ini yang akan kita coba bagikan kepada sahabat sahabat yaitu perihal Dasar-dasar teori perihal teori himpunan, berikut ini sangat penting dalam pembahasan perihal teori grup.
 Pada kesempatan kali ini yang akan kita coba bagikan kepada sahabat sahabat yaitu perihal  Hukum Hukum Pada Teori Himpunan

1. Himpunan
Himpunan yaitu suatu kumpulan obyek (kongkrit maupun abstrak) yang didefinisikan dengan jelas. Obyek-obyek dalam himpunan tersebut dinamakan anggota himpunan.
Contoh I.1 :
1. Himpunan bilangan 0, 1, 2 dan 3.
2. Himpunan : pena, pensil, buku, penghapus, penggaris.
3. Himpunan : Negara-negara anggota ASEAN.
Secara matematik, himpunan sanggup dinyatakan dengan tanda kurung kurawal dan dipakai notasi abjad besar. Hal itu berarti, himpunan di atas ditulis secara matematik yaitu :
1. A = { 0, 1, 2, 3 }.
2. B = { pena, pensil, buku, penghapus, penggaris }.
3. C = { Negara-negara ASEAN }.

Untuk membentuk himpunan, salah satu metode yang sanggup dipakai yaitu metode Roster (tabelaris) yaitu dengan menyebut atau mendaftar semua anggota, ibarat pada himpunan A dan 3
B sedangkan metode lainnya yaitu metode Rule yaitu dengan menyebut syarat keanggotaannya. Sebagai contoh, penggunaan metode Rule yaitu C = { x | x negara-negara ASEAN }. Kalimat di belakang garis tegak ( | ) menyatakan syarat keanggotaan.

Apabila suatu obyek merupakan anggota dari suatu himpunan maka obyek itu dinamakan elemen dan notasi yang dipakai yaitu ∈. Sebaliknya apabila bukan merupakan anggota dinamakan bukan elemen, dan notasi yang dipakai yaitu ∉. Sebagai contoh, kalau himpunan A = {0, 1, 2, 3 } maka 2 ∈ A sedangkan 4 ∉ A. Banyaknya elemen dari himpunan A dikenal dengan nama bilangan cardinal dan disimbolkan dengan n(A). Berarti pada teladan di atas n(A) = 4.

Himpunan A dikatakan ekuivalen dengan himpunan B kalau n(A) = n(B), dan biasa disimbolkan dengan A ∼ B. Berarti kalau A dan B ekuivalen maka sanggup dibentuk perkawanan satusatu dari himpunan A ke himpunan B dan sebaliknya. Pada teladan di atas himpunan A = {0, 1, 2, 3 } ekuivalen dengan himpunan E = {2, 4, 6, 8}.

Catatan :
Pada dikala menyatakan himpunan harus diperhatikan bahwa (i) Urutan tidak diperhatikan, himpunan {0, 1, 2, 3}, {1, 0, 3, 2} dipandang sama dengan {1, 2, 3, 0}
(ii) Anggota-anggota yang sama hanya diperhitungkan sekali, {0, 0, 1, 1, 2, 3} dan {0, 1, 2, 3, 3, 3} dipandang sama dengan {0, 1, 2, 3}.

Himpunan semesta (universal set) yaitu himpunan semua obyek yang dibicarakan. Himpunan semesta dinotasikan S atau U. Sebagai teladan kalau A ={0, 1, 2, 3} maka sanggup diambil himpunan semestanya U = { bilangan lingkaran } atau U = { himpunan bilangan cacah }, dll.

Himpunan kosong yaitu himpunan yang tidak memiliki anggota, dalam hal ini digunakan
notasi ∅ atau { }. Sebagai teladan kalau D = { bilangan ganjil yang habis dibagi dua } maka D = ∅ atau D = { }.

Diagram Venn yaitu diagram untuk menggambarkan suatu himpunan atau korelasi antar himpunan. Himpunan yang digambarkannya biasanya dalam bentuk lingkaran dan anggotanya berupa titik dalam lingkaran dan himpunan semestanya dalam bentuk persegi panjang. Sebagai teladan kalau diketahui himpunan E = { 2, 4, 6, 8 } dan himpunan semestanya yaitu himpunan bilangan genap U sanggup digambarkan dengan diagram Venn.

Misalkan diketahui himpunan A dan B. Himpunan A dikatakan himpunan kepingan (subset) kalau dan hanya kalau setiap elemen dari A merupakan elemen dari B. Notasi yang biasa dipakai yaitu A ⊆ B atau B ⊇ A. Notasi A ⊆ B dibaca A himpunan kepingan dari B atau A termuat dalam B, sedangkan notasi B ⊇ A dibaca B memuat A.

Contoh I.2 :
Himpunan { 0 } ⊆ { 0, 1, 2, 3 } sedangkan 0 ∈ { 0, 1, 2, 3 }. Dua himpunan dikatakan sama kalau dan hanya kalau keduanya mengandung elemen yang sempurna sama. Hal itu berarti bahwa A = B kalau dan hanya kalau setiap anggota A juga menjadi anggota B dan sebaliknya setiap anggota B juga menjadi anggota A. Untuk mengambarkan A = B maka haruslah dibuktikan bahwa A ⊆ B dan B ⊆ A. Sebagai teladan A = { 0, 1, 2, 3 } sama dengan himpunan B = { 1, 0, 2, 3 }. Perlu dicatat bahwa himpunan kosong merupakan himpunan kepingan dari sebarang himpunan sehingga ∅ ⊆ A.

Jika A dan B himpunan maka A dikatakan himpunan kepingan sejati (proper subset) B kalau dan hanya kalau A ⊆ B dan A ≠ B. Notasi yang biasa dipakai yaitu A ⊂ B. Sebagai teladan {1, 2, 4 } ⊂ { 1, 2, 3, 4, 5 }.

Himpunan A = { 0, 1, 2, 3 } bukan himpunan kepingan himpunan G = {1, 3, 6, 8} atau A ⊄ G sebab ada anggota A (misalnya 2) yang bukan anggota G. Dari suatu himpunan A sanggup dibentuk himpunan kuasa (power set) yaitu himpunan yang anggota-anggotanya yaitu himpunan kepingan dari himpunan A dan notasi yang dipakai yaitu 2A. 

Sebagai contoh, himpunan H = { 1, 2 } maka 2A = { ∅, {1}, {2}, {1,2} }. Dalam hal ini n(2A) =2n(A) = 22 = 4. 

Dua himpunan A dan B dikatakan saling abnormal kalau masing-masing tidak kosong dan A ∩ B = ∅. Sebagai teladan himpunan A = { 0, 1, 2, 3 } saling abnormal dengan himpunan E = { 5, 6, 7, 8 }.

Komplemen himpunan A yaitu semua anggota dalam semesta yang bukan anggota A. Notasi pemanis A yaitu AC. Secara matematik sanggup ditulis sebagai AC ={ x | x ∈ U dan x ∉ A }.
Sebagai teladan kalau U = { 1, 2, 3,…, 10 } dan A = { 3, 5, 7 } maka AC={1, 2, 4, 6, 8, 9,10}.

Relasi antara himpunan A dan komplemennya yaitu AC sanggup dinyatakan dalam diagram Venn. Dalam hal ini UC = ∅ dan ∅C = U. Gabungan (union) dua himpunan A dan B yaitu suatu himpunan yang anggotaanggotanya terdiri atas semua anggota dari himpunan A atau B. Notasi yang digunakan
yaitu A ∪ B. Secara matematika A ∪ B = { x | x ∈ A atau x ∈ B }. 

Sebagai teladan kalau A = { a, i, e } dan B = { i, e, o, u } maka A ∪ B = { a, i, e, o, u }. Dalam hal ini berlaku sifat A ⊆ (A ∪ B} dan B ⊆ (A ∪ B} dan juga A ∪ AC = U.

Irisan (intersection) dari dua himpunan A dan B yaitu suatu himpunan yang anggotanya terdiri atas anggota himpunan A yang juga merupakan anggota himpunan B. Dalam hal ini dipakai notasi A ∩ B. Secara matematik A ∩ B = { x | x ∈ A dan x ∈ B }. 

Sebagai teladan kalau A = { 2, 3, 5, 7} dan B ={ 2, 4, 6, 8 } maka A ∩ B ={ 2 }. Dalam operasi irisan berlaku bahwa (A ∩ B) ⊆ A dan (A ∩ B) ⊆ B dan juga A ∩ AC=∅ .

Selisih antara himpunan A dan himpunan B yaitu anggota A yang bukan B. Notasi yang dipakai yaitu A-B. Secara matematik A-B = { x | x ∈ A dan x ∉ B }. 
Sebagai teladan kalau A = {0, 1, 2, 3} dan B = { 3, 4, 5 } maka A-B = { 0, 1, 2 }. Diagram Venn untuk selisih sanggup digambarkan.

Jumlahan himpunan A dan B yaitu himpunan A saja atau himpunan B saja tetapi bukan anggota A dan B. Dalam hal ini dipakai notasi A + B. Secara matematik sanggup dinyatakan sebagai A + B = { x | x ∈ (A ∪ B) tetapi x ∉ (A ∩ B) }. 
Sebagai teladan kalau A = { 1, 2, 3, 4, 5 } dan B ={ 2, 4, 6 } maka A + B = { 1, 3, 5, 6 }. Diagram Venn dari operasi penjumlahan sanggup digambarkan. Catatan bahwa : A + B = (A ∪ B) - (A ∩ B) atau A + B = (A - B) ∪ (B - A).

Hukum-hukum aljabar himpunan:
1. Hukum komutatif :
  •  A ∩ B = B ∩ A
  • A ∪ B = B ∪ A

Bukti :
Karena A ∩ B = { x | x ∈ A dan x ∈ B } maka A ∩ B = { x | x ∈ B dan x ∈ A } = B ∩ A.
Karena A ∪ B = { x | x ∈ A atau x ∈ B } maka A ∪ B = { x | x ∈ B atau x ∈ A } = B ∪ A.

2. Hukum assosiatif: 
  • A ∩ (B ∩ C) = (A ∩ B) ∩ C
  • A ∪ (B ∪ C) = (A ∪ B) ∪ C

3. Hukum idempoten:
  •  A ∩ A = A
  • A ∪ A = A

4. Hukum distributif : 
  • A ∩ (B ∪ C) = (A ∪ B) ∪ (A ∩ C)
  • A ∪ (B ∩ C) = (A ∪ B) ∩ (A ∪ C)

5. Hukum de Morgan :
  •  (A ∩ B)c = Ac ∪ Bc
  • (A ∪ B)c = Ac ∩ Bc

6. Jika A ⊆ B maka A ∩ B = A dan A ∪ B = B.